makalah PPKN

Posted by PERFECT WORLD 0 komentar

BAB I

PENDAHULUAN


    1. Pengertian Kewarganegaran

Kewarganegaraan dalam bahasa latin disebutkan “Civis”, selanjutnya dari kata “Civis” ini dalam bahasa Inggris timbul kata ”Civic” artinya mengenai warga negara atau kewarganegaraan. Dari kata “Civic” lahir kata “Civics”, ilmu kewarganegaraan dan Civic Education, Pendidikan Kewarganegaraan.

Pelajaran Civics mulai diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1790 dalam rangka “mengamerikakan bangsa Amerika” atau yang terkenal dengan nama “Theory of Americanization”. Sebab seperti diketahui, bangsa Amerika berasal dari berbagai bangsa yang datang di Amerika Serikat dan untuk menyatukan menjadi bangsa Amerika maka perlu diajarkan Civics bagi warga negara Amerika Serikat. Dalam taraf tersebut, pelajaran Civics membicarakan masalah ”government”, hak dan kewajiban warga negara dan Civics merupakan bagian dari ilmu politik.

Di Indonesia Pendidikan Kewarganegaraan yang searti dengan “Civic Education” itu dijadikan sebagai salah satu mata kuliah wajib yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa di Perguruan Tinggi untuk program diploma/politeknik dan program Sarjana (SI), baik negeri maupun swasta.

Di dalam Undang-Undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dipakai sebagai dasar penyelenggaraan pendidikan tinggi pasal 39 ayat (2) menyebutkan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajin memuat a) Pendidikan Pancasila, b) Pendidikan Agama, dan c) Pendidikan Kewarganegaraan yang mencakup Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN).

Pendidikan Kewarganegaraan yang dijadikan salah satu mata kuliah inti sebagaimana tersebut di atas, dimaksudkan untuk memberi pengertian kepada mahasiswa tentang pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antara warga Negara dengan nengara, serta Pendidikan Pendahuluan Bela Negara sebagai bekal agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara (SK Dirjen DIKTI no.267/DIKTI/Kep/2000 Pasal 3).

Melihat begitu pentingnya Pendidikan Kewarganegaraan atau Civics Education ini bagi suatu Negara maka hampir di semua Negara di dunia memasukkannya ke dalam kurikulum pendidikan yang mereka selenggarakan. Bahkan Kongres Internasional Commission of Jurist yang berlangsung di Bangkok pada tahun 1965, mensyaratkan bahwa pemerintahan suatu negara baru dapat dikatakan sebagai pemerintahan yang demokratis manakala ada jaminan secara tegas terhadap hak-hak asasi manusia, yang salah satu di antaranya adalah Pendidikan Kewarganegaraan atau ”Civic Education”. Hal ini dapat dimaklumi, karena dengan dimasukkannnya ke dalam sistem pendidikan yang mereka selenggarakan, diharapkan warga negaranya akan menjadi warga negara yang cerdas dan warga negara yang baik (smart and good citizen), yang mengetahui dan menyadari sepenuhnya akan hak-haknya sebagai warga negara, sekaligus tahu dan penuh tanggung jawab akan kewajiban dirinya terhadap keselamatan bangsa dan negaranya. Dengan demikian diberikannya Pendidikan Kewarganegaraan akan melahirkan warga negara yang memiliki jiwa dan semanagt patriotisme dan nasionalisme yang tinggi.

Mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan termasuk salah satu mata kuliah Pengembangan Kepribadian (MKPK), dimana kelompok mata kuliah ini merupakan pendidikan umum yang sifatnya sangat fundamental/mendasar.

Mata kuliah Pengembangan Kepribadian terdiri dari tiga komponen, yaitu:

  1. Pendidikan Agama

  2. Pendidikan Pancasila

  3. Pendidikan Kewarganegaraan

Adapun tujuan diberikannya MKPK ini agar para sarjana Indonesia memiliki kualifikasi.

  1. Taqwa kepada Allah - Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Kuasa, bersikap dan berperilaku sesuai dengan ajaran agama yang diyakini dan dipeluknya, serta memiliki sikap tenggang rasa/toleransi terhadap agama/keyakinan orang lain.

  2. Berjiwa Pancasila sehingga segala keputusan dan tindakan mencerminkan prinsip-

prinsip Pancasila serta memiliki integritas moral yang tinggi, yang senantiasa mendahulukan kepentingan bangsa dan kemanusiaan di atas kepentingan pribadi maupun golongannya.

  1. Memiliki wawasan yang untuk/komprehensif dan pendekatan yang integral dalam mensikapi permasalahan kehidupan, baik ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya maupun pertahanan dan keamanan.

Adapun mata kuliah Pengembangan Kepribadian (MKPK) diwajibkan disemua lembaga pendidikan tinggi seperti tersebut di atas bertujuan untuk mengembangkan aspek kepribadian mahasiswa, suatu aspek yang paling fundamental dalam kehidupan manusia, serta menjadi dasar dan landasan bagi semua aspek lainnya. Sementara mata kuliah lain yang dikelompokkan dalam Mata Kuliah Dasar Keahlian (MKDK) dan Mata Kuliah Keahlian (MKK) merupakan sejumlah mata kuliah yang dimaksudkan untuk mengembangkan keahlian mahasiswa dalam disiplin ilmu yang dipilihnya. Dengan kata lain dikuliahkannya MKDK dan MKK adalah dalam rangka untuk mengembangkan aspek kemampuan (abilitas) mahasiswa yang seluruhnya bermuara pada satu tujuan agar kelak ia cakap menghadapi kehidupan yang serba menantang dan lebih khusus lagi ia bisa dapat pekerjaan yang layak dengan penghasilan yang memadai.

Berkaitan dengan perlunya setiap orang mengembangkan kedua aspek yang paling mendasar itu, yaitu aspek kepribadian dan aspek kemampuan, kiranya patut disimak apa yang pernah diucapkan oleh Albert Einstein bahwa ”Science without religion is blind. Religion without science is lame”. Suatu pengetahuan tanpa dilandasai oleh moralitas agama adalah buta. Agama tanpa didukung oleh pengetahuan lumpuh.

Dalam ungkapan yang berbeda namun esensinya sama, Driyarkara menyatakan bahwa dalam suatu kehidupan terdapat sekian banyak nilai, wert atau values. Namun kalau diklasifikasikan hanya ada dua nilai saja, yaitu nilai alat (tool) dan nilai tujuan. Driyarkara memasukkan aspek kepribadian ini ke dalam nilai tujuan, sedang aspek kemampuan (abilitas) dimasukkannya ke dalam nilai alat. Bagi manusia harus dibedakan antara nilai alat dan nilai tujuan. Nilai tujuan ialah kesempurnaan pribadi manusia. Nilai-

nilai lainnya, yang hanya memuaskan atau menolong kejasmanian manusia adalah nilai alat dan (sama sekali) bukan nilai tujuan. Agar supaya perbuatan manusia tidak menjadi kegila-gilaan, maka nilai alat harus tetap menjadi/sebagai nilai alat, dan tidak boleh dijadikan sebagai nilai tujuan.


    1. Latar Belakang Pendidikan Kewarganegaraan

Perkembangan globalisasi yang ditandai dengan kuatnya pengaruh lembaga-lembaga kemasyarakatan internasional, negara-negara maju yang ikut mengatur pecaturan perpolitikan, perekonomia, sosial budaya dan pertahanan serta keamanan global. Kondisi ini akan menumbuhkan berbagai konflik kepentingan, baik antar negara maju dengan negara-negara berkembang, maupun antar sesama negara-negara berkembang sendiri serta lembaga-lembaga Internasional. Kecuali itu adanya isu-isu global yang meliputi demokratisasi, hak asasi manusia dan lingkungan hidup, turut pula mempengaruhi keadaan nasional.

Globalisasi ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang informasi komunikasi dan transportasi sehingga dunia menjadi semakin transparan, seolah-olah menjadi seperti kampung dunia tanpa mengenal batas negara (Edy Pramono, 2004: 1-2), suatu peristiwa yang terjadi di salah satu kawasan, seketika itu juga dapat diketahui dan diikuti oleh mereka yang berada di kawasan lain. Cotoh: peristiwa pembunuhan terhadap 3 orang personil UNHCR dikamp pengungsi Timor Timur di Atambua tanggal 6 September 2000 langsung tersiar di seluruh dunia, dan mendorong Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi Nomor 1319, tanggal 9 September 2000, dan Amerika Serikat mengenakan embargo militer terhadap Indonesia. Ini berarti era globalisasi itu dapat berdampak besar, baik yang bersifat positif maupun yang negatif. Dampak positif adalah seperti dapat meningkatkan ksejahteraan, memberi peluang-peluang baru, sedang yang negatif adalah seperti dapat mengganggu keamanan, memperburuk ekonomi, marginalisasi

sosial dan meningkatnya kemiskinan. Di era globalisasi juga akan berkembangnya suatu standarisasi yang sama dalam berbagai bidang kehidupan. Negara atau pemerintah dimanapun, terlepas dari sistem ideologi atau sistem sosial yang dimiliki, dipertanyakan apakah hak-hak asasi dihormati, apakah demokrasi dikembangkan, apakah kebebasan dan keadilan dimiliki oleh setiap warganya, bagaimana lingkungan hidup dikelola. Implikasi globalisasi menjadi semakin kompleks karena masyarakat hidup dalam standar ganda. Di satu pihak orang ingin mempertahankan budaya lama yang diimprovisasikan untuk melayani perkembangan baru, yang disebut dengan budaya sandingan (sub-culture). Di pihak lain muncul tindakan-tindakan melawan terhadap perubahan-perubahan yang dirasakan sebagai ”nestapa” dari mereka yang dipinggirkan, tergeser dan tergusur, tidak terlayani oleh masyarakatnya, yang disebut sebagai budaya tandingan (counter- culture). Ini berarti globalisasi juga akan menciptakan struktur baru, yaitu struktur global. Kondisi ini akan mempengaruhi struktur dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta akan mempengaruhi juga dalam pola pikir, sikap dan tindakan masyarakat di Indonesia sehingga akan mempengaruhi kondisi mental spiritual bangsa Indonesia.

Perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia yang dimulai sejak era sebelum dan selama penjajahan, kemudian dilanjutkan dengan era perebutan dan mempertahankan kemerdekaan sampai denganera pengisian kemerdekaan, menimbulkan kondisi dan tuntutan yang berbeda sesuai dengan zamannya. Kondisi dan tuntutan yang berbeda tersebut ditanggapi oleh bangsa Indonesia berdasarkan kesamaan nilai-nilai perjuangan bangsa yang senantiasa tumbuh dan berkembang. Kesamaan nilai-nilai ini dilandasi oleh jiwa, tekad, dan semangat kebangsaan. Kesemuanya tumbuh menjadi kekuatan yang mampu mendorong proses terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam wadah Nusantara.

Semangat perjuangan bangsa yang tak kenal menyerah telah terbukti pada perang kemerdekaan 17 Agustus 1945. Semangat perjuangan bangsa tersebut dilandasi oleh keimanan serta ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan keihklasan untuk

berkorban. Landasan perjuangan tersebut merupakan nilai-nilai perjuangan bangsa Indonesia, yang telah melahirkan kekuatan yang luar biasa pada masa perjuangan fisik. Sedang dalam menghadapi globalisasi dan menatap masa depan untuk mengisi kemerdekaan, kita memerlukan perjuangan non fisik sesuai dengan bidang profesi masing-masing. Perjuangan ini pun perlu dilandasi oleh nilai-nilai perjuangan bangsa Indonesia juga, sehingga kita tetap memiliki wawasan dan kesadaran bernegara, sikap dan perilaku yang cinta tanah air, dan mengutamakan persatuan serta kesatuan negara dalam rangka bela negara demi tetap utuh dan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Perjuangan secara fisik yang sesuai bidang masing-masing tersebut memerlukan sarana kegiatan pendidikan bagi setiap warga negara Indonesia pada umumnya dan mahasiswa sebagai calon cendekiawan pada khususnya, yaitu melalui Pendidikan Kewarganegaraan. Sebab Pendidikan Kewarganegaraan adalah merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan kemampuan dan pengetahuan dasar berkenaan dengan hubungan antara warga negara dengan negara serta Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN) agar dapat menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negaranya. Jadi tujuan Pendidikan Kewarganegaraan adalah untuk membekali peserta didik dengan kemampuan dan pengetahuan dasar berkenaan dengan hubungan antara warga negara dengan negara. Oleh karena itu dalam pengajarannya perlu dijelaskan bagaimana bentuk hubungan antara warga negara yang sehat, positif, dan dapat diandalkan.


    1. Kompetensi yang Diharapkan dari Pendidikan Kewarganegaraan

Menurut Keputusan Dirjen Dikti No.267/Dikti/Kep/2000, antara lain dinyatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antara warga negara dengan negara serta Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN) agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.

Kompetensi diartikan sebagai seperangkat tindakan cerdas, penuh rasa tanggung jawab yang harus dimiliki oleh seseorang sebagai syarat untuk dapat dianggap maupun melaksanakan tugas-tugas dalam bidang pekerjaan tertentu. Sedang komptensi lulusan Pendidikan Kewarganegaraan adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh rasa tanggungjawab warga negara dalam hubungan dengan negara dan memecahkan berbagai masalah hidup bermasyarakat, berbangsa, wawasan nusantara dan ketahanan nasional. Yang dimaksud dengan cerdas adalah tampak pada kemahiran, ketepatan dan keberhasilan dalam bertindak. Sedang sifat tanggung jawab diperlihatkan sebagai kebenaran tidakan ditilik dari nilai ilmu pengetahuan dan teknologi serta etika ajaran agama dan budaya. Oleh karen aitu maka Pendidikan Kewarganegaraan yang berhasil akan membuahkan sikap mental yang bersifat cerdas dan penuh rasa tanggung jawab dari mahasiswa dengan beberapa perilaku, yaitu:

  1. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menghayati nilai-nilai falsafah bangsa Indonesia.

  2. Berbudi pekerti luhur, berdisiplin dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia.

  3. Bersikap rasional, dinamis dan sadar akan hak dan kewajiban sebagai warga negara.

  4. Bersifat profesional yang dijiwai oleh kesadaran bela negara.

  5. Aktif memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni untuk kepentingan kemanusiaan, bangsa dan negara.

Melalui Pendidikan Kewarganegaraan, warga negara NKRI diharapkan mampu memahami, menganalisis dan menjawab masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, bangsa dan negaranya secara berkesinambungan dan konsisten dengan cita-cita dan tujuan nasionalnya sebagaimana yang digariskan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam mengisi kemerdekaan dan menghadapi globalisasi setiap warga negara NKRI pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya harus tetap pada jati dirinya yang berjiwa patriotik dan cinta tanah air di dalam perjuangan non fisik sesuai dengan profesi masing-masing di dalam semua aspek kehidupan.


    1. Pengertian dan Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan

      1. Pengertian pendidikan kewarganegaraan

Dalam UU No.2 Tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 39, ayat 2 dinyatakan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan.

Materi pokok dari Pendidikan Kewarganegaraan adalah tentang hubungan antara warga negara dan negara serta Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN). Di Perguruan Tinggi Pendidikan Kewarganegaraan diejawantahkan salah satunya melalui mata kuliah Pendidikan Kewiraan yang diimplementasikan sejak UU No.2/1989 diberlakukan sampai rezim orde baru runtuh.

Pendidikan Kewiraan lebih menekankan pada Pendidikan Pendahuluan Bela Negara. Adapun yang dimaksud dengan Bela Negara adalah tekad, sikap dan tindakan warga negara yang teratur, menyeluruh, terpadu dan berlanjut yang dilandasai oleh kecintaan pada tanah air serta kesadaran hidup berbangsa dan bernegara. Bagi bangsa Indonesia, usaha bela negara dilandasi oleh kecintaan pada tanah air (wilayah nusantara) dan kesadaran berbangsa dan bernegara Indonesia dengan keyakinan pada Pancasila sebagai dasar negara serta berpijak pada UUD 1945 sebagai konstitusi negara.

Adapun wujud dari usaha bela negara yang dimaksud adalah kesiapan dan kerelaan dari setiap warga negara untuk berkorban demi mempertahankan kemerdekaan, kedaulatan negara, persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, keutuhan wilayah nusantara dan yuridiksi nasional serta nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

Seiring dengan perkembangan dan perubahan politik dari era otoriterian ke era demokratisasi, Pendidikan Kewarganegaraan melalui mata kuliah Pendidikan Kewiraan dianggap sudah tidak relevan lagi dengan semangat reformasi dan demokratisasi, maka Pendidikan Kewiraan ditinggalkan karena beberapa alasan, antara lalin karena pola pembelajaran bersifat indoktrinatif dan monolitik, materi pembelajarannya sarat dengan kepentingan ideologi rezim (orde baru), kecuali itu juga mengabaikan dimensi efeksi dan psikomotor. Dengan demikian jelas sekali Pendidikan Kewiraan telah keluar dari semangat dan hakikat Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan nilai dan pendidikan demokrasi (Tim ICCE UIN, 2003: 3-4). Pendidikan Kewarganegaraan seharusnya menitikberatkan perhatian pada kemampuan penalaran ilmiah yang kognitif dan afektif tentang bela negara dalam rangka ketahanan nasional.

Dengan adanya penyempurnaan kurikulum pada tahun 2000, materi pendidikan kewiraan disamping membahas tentang PPBN juga ditambah dengan pembahasan tentang hubungan antara warga negara dengan negara. Kemudian sebutan Pendidikan Kewiraan diganti dengan Pendidikan Kewarganegaraan, yang menurut Keputusan Dirjen Dikti No.267/Dikti/ Kep/2000, mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan serta Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN) merupakan salah satu komponen yang tidak dapat dipisahkan dari kelompok mata kuliah Pengembangan Kepribadian (MKPK) dalam susunan kurikulum inti Perguruan Tinggi di Indonesia.

Sedang yang dimaksud dengan pendidikan sebagaimana terdapat dalam UU No.2/1989 tentang sistem pendidikan nasional, Bab I, ayat (7) adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan dan/ atau latihan bagi perannya di masa mendatang.

Kewarganegaraan berasal dari kata dasar ”warga”, berarti sekelompok orang yang menjadi anggota suatu negara. Warga negara adalah rakyat yang menetap di suatu wilayah dan rakyat tertentu dalam hubungannya dengan negara. Setelah mendapat awalan ke dan akhiran an menjadi Kewarganegaraan maka dia mempunyai arti kesadaran dan kecintaan serta berani membela bangsa dan negara. Dengan demikian maka yang dimaksud dengan Pendidikan Kewarganegaraan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan dan atau latihan dalam rangka mengembangkan atau menumbuhkan kesadaran, kecintaan, kesetiaan dan keberaniannya untuk berkorban demi membela bangsa dan negaranya.


      1. Tujuan pendidikan kewarganegaraan

Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti No.267/Dikti/2000, tujuan Pendidikan Kewarganegaraan adalah:

  1. Tujuan umum

Memberikan pengetahuan dan kemampuan dasara kepada mahasiswa mengenai hubungan antara warga negara dengan negara serta Pendidikan Pendahuluan Bela Negara agar dapat menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.

b. Tujuan khusus

        1. Agar mahasiswa dapat memahami dan melaksanakan hak dan kewajiban secara santun, jujur dan demokratis serta ikhlas sebagai warga negara Republik Indonesia yang terdidik dan bertanggungjawab.

        2. Agar mahasiswa menguasai dan memahami berbagai masalah dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta dapat mengatasinya dengan pemikiran kritis dan bertanggungjawab yang berlandaskan Pancasila, wawasan nusantara dan ketahanan nasional.

        3. Agar mahasiswa memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai kejuangan, cinta tanah air serta rela berkorban bagi nusa dan bangsa.


1.4 Landasan Pendidikan Kewarganegaraan

1.4.1 Landasan ilmiah

a. Dasar Pemikiran Pendidikan Kewarganegaraan

Setiap warga negara dituntut untuk hidup berguna (berkaitan dengan kemampuan kognitif dan psikomotorik) bagi negara dan bangsanya, serta mampu mengantisipasi masa depan mereka yang senantiasa berubah dan selalu terkait dengan kontkes dinamika budaya, bangsa, negara dan hubungan internasional. Pendidikan Tinggi tidak dapat mengabaikan realitas global tersebut yang digambarkan sebagai kehidupan yang penuh paradoks dan ketakterdugaan itu. Untuk itu kepada setiap warga negara diperlukan adanya pembekalan ilmu pengetahuan dan teknologi dan seni (ipteks) yang berlandaskan nilai-nilai budaya bangsa. Nilai-nilai budaya bangsa tersebut berperan sebagai panduan dan pegangan hidup bagi setiap warga negara. Pokok bahasan Pendidikan Kewarganegaraan meliputi hubungan antara warga negara serta pendidikan pendahuluan bela negara, yang semua itu berpijak pada budaya bangsa. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa tujuan utama dari pendidikan kewarganegaraan adalah untuk menumbuhkan wawasan dan kesadaran bernegara serta membentuk sikap dan perilaku yang cinta tanah air yang bersendikan kebudayaan bangsa, wawasan nusantara, serta ketahanan nasional dalam diri para mahasiswa yang calon sarjana/ilmuan warga negara kesatuan republik indonesia yang sedang mengkaji dan akan menguasai IPTEK dan seni. Sebab kualitas warga negara yang baik adalah sangat ditentukan terutama oleh keyakinan dan sikap hidupnya dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara disamping derajat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dipelajarinya.

b. Objek Pembahasan Pendidikan Kewarganegaraan

Setiap ilmu harus memenuhi syarat-syarat ilmiah, yaitu berobjek, mempunyai metode, sistematis dan bersifat universal. Objek pengetahuan ilmu yang ilmiah itu harus jelas baik material maupun formalnya. Objek material adalah bidang sasaran yang dibahas dan dikaji oleh suatu bidang atau cabang ilmu. Sedang objek formal sudut pandang tertentu yang dipilih atau yang dijadikan ciri untuk membahas objek material tersebut.

Objek material dari Pendidikan Kewarganegaraan adalah segal ahal yang berkaitan dengan warga negara baik yang empirik maupun yang non empirik, yang berupa wawasan, sikap dan perilaku warga negara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedang objek formalnya adalah mencakup dua segi, yaitu:

  1. Segi hubungan antara warga negara dengan negara (termasuk hubungan antara warga negara).

  2. Segi pembelaan negara.

Objek pembahasan Pendidikan Kewarganegaraan menurut Keputusan Dirjen Pendidikan Tinggi No.267/Dikti/Kep/2000, pokok-pokoknya adalah sebagai berikut:

1. Pengantar Pendidikan Kewarganegaraan, mencakup:

  1. Hak dan kewajiban warga Negara.

  2. Pendidikan Pendahuluan Bela Negara.

  3. Demokrasi Indonesia.

  4. Hak asasi manusia.

    1. Wawasan nusantara.

    2. Ketahanan nasional.

    3. Politik dan strategi nasional.


c. Rumpun Keilmuan

Pendidikan Kewarganegaraan (Kewiraan) disejajarkan Civics Education yang dikenal di berbagai Negara. Sebagai bidang studi ilmiah Pendidikan Kewarganegaraan bersifat interdisipliner bukan monodisipliner, karena kumpulan pengetahuan yang membangun ilmu Kewarganegaraan ini diambil dari berbagai disiplin ilmu. Maka dalam upaya pembahasan dan pengembangannyapun perlu dibantu oleh disiplin ilmu-ilmu yang lain seperti: ilmu hukum, ilmu politik, sosiologi, administrasi negara, ilmu ekonomi pembangunan, sejarah perjuangan bangsa dan ilmu filsafat.


      1. Landasan hukum

  1. Undang-Undang Dasar 1945

        1. Pembukaan UUD 1945 alenia ke dua tentang cita-cita mengisi kemerdekaan, dan alinea ke empat khususnya tentang tujuan negara.

        2. Pasal 30 ayat (1), Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta alam usaha pembelaan negara.

        3. Pasal 31 ayat (1), Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran.

  2. Undang-Undang Nomor 20 tahun 1982

Undang-Undang No.20/1982 adalah tentang ketentuan-ketentuan pokok Pertahanan Kemanan Negara Republik Indonesia.

        1. Pasal 18 Hak dan kewajiban warga negara yang diwujudkan dengan keikutsertaan dalam upaya bela negara diselenggarakan melalui Pendidikan Pendahuluan Bela Negara sebagai bagian tidak terpisahkan dalam sistem pendidikan nasional.

        2. Pasal 19, ayat (2) Pendidikan Pendahuluan Bela Negara wajib diikuti oleh setiap warga negara dan dilaksanakan secara bertahap, yaitu:

  1. Tahap awal pada pendidikan tingkat dasar sampai menengah dan dalam gerakan pramuka.

  2. Sikap lanjutan dalam bentuk Pendidikan Kewiraan pada tingkat Pendidikan Tinggi.

c. Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989

Undang-Undang No.2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menjelaskan bahwa:

”Pendidikan Kewarganegaraan merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antara warga negara dan negara serta Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN) agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.


1.5.3 Landasan ideal

Landasan ideal Pendidikan Kewarganegaraan yang sekaligus menjadi jiwa dikembangkannya Pendidikan Kewarganegaraan adalah Pancasila. Pancasila sebagai sistem filsafat menjiwai semua konsep ajaran Kewarganegaraan, yang dalam sistematikanya dibedakan atas tiga hal, yaitu: Pancasila sebagai dasar negara, Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, Pancasila sebagai ideologi negara. Ketiga hal ini hanya dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan sebagai kesatuan.

  1. Pancasila sebagai Dasar Negara

Pancasila sebagai dasar negara merupakan dasar pemikiran tindakan negara dan menjadi sumber dari segala sumber hukum negara Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara pola pelaksanaanya terpancar dalam empat pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, dan selanjutnya dijabarkan dalam pasal-pasal UUD 1945 sebagai strategi pelaksanaan Pancasila sebagai dasar negara.

Pokok pikiran pertama yaitu pokok pikiran persatuan yang berfungsi sebagai dasar negara (dalam kesatuan organis) merupakan landasan dirumuskannya wawasan nusantara, dan pokok pikiran kedua, yaitu pokok pikiran keadilan sosial yang berfungsi sebagai tujuan negara (dalam kesatuan organis) merupakan tujuan wawasan nusantara.

Tujuan negara dijabarkan langsung dalam Pembukaan UUD 1945 alenia IV, yaitu tujuan berhubungan dengan segi keamanan dan segi kesejahteraan dan tujuan berhubungan dengan segi ketertiban dunia.

Berdasarkan landasan itu maka wawasan nusantara pada dasarnya adalah sebagai perwujudan nilai sila-sila Pancasila di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

  1. Pancasila sebagai Pandangan Hidup

Pancasila sebagai pandangan hidup merupakan kristalisasi nilai-nilai lihur yang diyakini kebenarannya. Perwujudan nilai-nilai luhur Pancasila terkandung juga dalam wawasan nusantara, demi terwujudnya ketahanan nasional. Dengan demikian ketahanan nasional itu disusun dan dikembangkan juga tidak boleh lepas dari wawasan nusantara.

Perwujudan nilai-nilai Pancasila mencakup lima bidang kehidupan nasional, yaitu bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan landasan, yang disingkat dengan (poleksosbud Han-Kam), yang menjadi dasar pemerintahan ketahanan nasional. Dari lima bidang kehidupan nasional itu bidang ideologilah yang menjadi landasan dasar, berupa Pancasila sebagai pandangan hidup yang menjiwai empat bidang yang lainnya.

Dasar pemikiran ketahanan nasional di samping lima bidang kehidupan nasional tersebut yang merupakan aspek sosial pancagatra didukung pula adanya dasar pemikiran aspek alamiah triagatra.

  1. Pancasila sebagai Ideologi Negara

Pancasila sebagai ideologi negara merupakan kesatuan konsep-konsep dasar yang memberikan arah dan tujuan menuju pencapaian cita-cita bangsa dan negara. Cita-cita bangsa dan negara yang berdasarkan Pancasila itu terpancar melalui alinea ke dua Pembukaan UUD 1945, merupakan cita-cita untuk mengisi kemerdekaan, yaitu: bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Bersatu merupakan bekal untuk mencapai tujuan masyarakat adil dan makmur, dengan sistem berdaulat.

Cita-cita mengisi kemerdekaan untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur harus diisi dengan pembangunan nasional, tanpa pembangunan nasional cita-cita bangsa untuk mengisi kemerdekaan tidak akan terwujud.

Sebagai perbandingan, di beberapa negara juga dikembangkan materi Pendidikan Umum/General Education/Humanities) sebagai pembekalan nilai yang mendasari sikap dan perilaku warga negaranya.

        1. Amerika Serikat: History, Humanity, dan Philosophy.

        2. Jepang: Japanese History, Ethics, dan Philosophy.

        3. Filipina: Philipino, Family Planning, Taxation and Land Reform, the Philiphine New Constitution, dan studi of Human Rights.


Latihan :
  1. Uraikan secara singkat sejarah pendidikan kewarganegaraan sebagai ssuatu disiplin ilmu !

  2. Uraikan kedudukan Pendidikan kewarganegaraan dalam sistem pendidikan Nasional di Indonesia !

  3. Jelaskan maksud diselenggarakannya pendidikan kewarganegaraan menurut Dirjen DIKTI No. 267/Dikti/Kep/2000 !

  4. Jelaskan salah satu syarat pemerintahan yang telah melaksanakan sistem demokrasi menurut kongres international commission of jurist Bangkok tahun 1965 !

  5. Mata kuliah umum yang termasuk mata kuliah pengembangan kepribadian (MKPK) adalah pendidikan agama, pendidikan pancasila dan pendidikan kewarganegaraan. Coba saudara jelaskan apa tujuan diberikannya mata kuliah pengembangan kepribadian tersebut ?

  6. Coba saudara jelaskan apa perlunya dikembangkan pendidikan yang berbasis pengembangan kepribadian (MKPK) dan berbasis pengembangan kemampuan, yaitu dengan cara memberikan mata kuliah Dasar keahlian (MKDK) dan mata kulaiah keahlian (MKK) dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia Indonesia ?. Terangkan pula pendapat Albert Einstein dan driyarkara tentang perlunya dikembangkan ke dua aspek tersebut dalam pengembangan sumber daya manusia !

  7. Globalisasi merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari oleh semua bangsa, termasuk bangsa Indonesia. Globalisasi disamping mempunyai dampak positif, juga mempunyai dampak negatif. Jelaskan !

  8. Menurut saudara bagaimana seharusnya bangsa Indonesia mensikapi dampak negatif dan positif dari globalisasi tersebut, agar bangsa Indonesia tetap tidak kehilangan identitas nasionalnya !

  9. Apa yang dimaksud dengan kompetensi ! Apa saja kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap mahasiswa yang telah lulus pendidikan kewarganegaraan ! Berikan contoh – contoh seperlunya.

  10. Jelaskan pengertian pendidikan kewarganegaraan secara terminologis !

  11. Jelaskan tujuan pendidikan kewarganegaraan menurut SK Dirjen DIKTI No. 267/DIKTI/2000 !

  12. Jelaskan beberapa landasan pelaksanaan pendidikan kewarganegaraan yang saudara ketahui !










Baca Selengkapnya ....

Menakertran memberikan sinyal merevisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Buruh dan Pengusaha menyimaknya dengan kehati-hatian

Posted by PERFECT WORLD 0 komentar

Saya lebih cenderung menyebutnya sebagai Undang-Undang Perburuhan dari pada UU Ketenagakerjaan, karena Buruh dan Tenaga Kerja itu menurut saya adalah dua hal yang berbeda. Buruh adalah orang yang bekerja pada suatu majikan (apakah itu majikan yang berbadan hukum atau perorangan) sementara Tenaga kerja ruang lingkupnya begitu luas, dia meliputi seluruh Buruh yang sedang bekerja, PNS (Sipil maupun Militer), pengagguran yang baru di PHK, dan termasuk didalamnya angkatan kerja baru yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan. Sementara itu dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hanya mengatur hubungan antara Buruh dan majikan, soal tenaga kerja yang sudah di PHK, angkatan kerja baru, serta PNS tidak diatur sama sekali dalam UU tersebut. Justeru karenanya UU No. 13/2003 itu lebih cocok disebut sebagai UU Perburuhan.

Persoalan Buruh hari ini adalah masih minimnya upah yang diterima sehingga berdampak pada lemahnya daya beli, sistem kontrak kerja (Outsourching) yang tidak terkendali, dan mengambangnya masa depan karena jaminan hari tua yang diatur melalui Jamsostek tidak bisa diandalkan. Sebalik Pengusaha mengeluh karena prosedur PHK buruh yang rumit dan jumlah pesangon yang tinggi. Inilah persoalan yang tersisa dari UU No. 13/2003 yang sampai saat ini masih menjadi batu kendala bagi perbaikan nasib buruh dan perbaikan iklim berusaha, sehingga tidak menjamin keharmonisan hubungan antara buruh dan majikan. Dampak dari persoalan tersebut menimbulkan rasa frustasi bagi buruh dan pemanfaatan kesempatan bagi pengusaha, productivitas menjadi rendah dan kwalitas kerja juga tak bisa ditingkatkan. Selanjutnya melemahkan daya saing terhadap industri luar negeri menyusul diberlakukannya perjanjian kebijakan perdagangan bebas atau Asean-China. free trade agreement (ACFTA).

Lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

November 7, 2008

Media Online Bersama Toba dot Com – Lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merupakan perwujudan dari tekad melakukan reformasi pendidikan yang sekian lama terasa mandeg dan tidak mampu lagi menjawab tuntutan perkembangan masyarakat, bangsa dan negara di era global. Reformasi pendidikan merupakan sebuah langkah strategis sebagai respons sekaligus penguatan terhadap reformasi politik yang ditempuh pemerintah Indonesia yaitu perubahan sistem pemerintahan dari sistem sentralistik menjadi desentralistik dengan memberikan otonomi kepada daerah.

Otonomi dan desentralisasi kewenangan menuntut dilakukannya berbagai perubahan, penyesuaian, pembudayaan dan pembaruan dalam rangka mewujudkan proses pendidikan yang bermutu, otonom, demokratis, memperhatikan keragaman, serta mampu mendorong partisipasi masyarakat.

Peningkatan mutu pendidikan sekolah dasar dapat dicapai apabila didukung oleh prasarana dan sarana pendidikan yang memadai. Sampai akhir tahun 2007 kondisi prasarana pendidikan SD/MI menunjukkan bahwa masih terdapat ruang kelas SD/MI/SDLB yang mengalami kerusakan sebesar 203.057 (18,9%) dari 1.073103 ruang kelas yang ada. Sudah menjadi kewajiban seluruh pemangku kepentingan untuk bertindak secara sinergis dalam penuntasan rehabilitasi gedung SD sebagaimana dikehendaki pemerintah bahwa pada tahun 2008 diharapkan tidak ada lagi sekolah yang rusak.

Sementara itu terkait dengan sarana pendidikan, PP Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) menegaskan bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki perpustakaan dan sarana pendidikan yang memadai meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya untuk menunjang Proses Belajar Mengajar.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan semakin menguatkan bahwa setiap sekolah/madrasah wajib menyelenggarakan perpustakaan dan memiliki koleksi buku teks pelajaran dan mengembangkan koleksi lain yang mendukung pelaksanaan kurikulum pendidikan.

Untuk memenuhi tuntutan UU dan PP di atas, pada tahun anggaran 2008 pemerintah meningkatkan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari Rp. 5,195 Triliun menjadi Rp. 7,015 Trilyun, yang akan digunakan selain untuk merehabilitasi ruang kelas SD/MI/SDLB dan pembangunan perpustakaan, juga digunakan untuk penyediaan sarana pendidikan yang mampu menunjang peningkatan mutu sekolah di kabupaten/kota penerima DAK di seluruh Indonesia.

Berdasarkan PP Nomor 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, Menteri Pendidikan Nasional menyusun Petunjuk Teknis Penggunaan DAK Bidang Pendidikan sebagai acuan pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dari DAK bidang pendidikan di kabupaten/kota penerima DAK. Sebagai tindak lanjut petunjuk teknis penggunaan DAK bidang pendidikan, perlu ditetapkan surat edaran tentang tata cara pelaksanaan dana alokasi khusus bidang pendidikan tahun 2008 sebagai standar minimal untuk pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan peningkatan mutu sekolah.

Apabila terdapat bahan bangunan, peralatan pendidikan, buku pengayaan, buku referensi, sarana multimedia dan peralatan perpustakaan yang standarnya setara atau lebih baik kualitasnya dibandingkan dengan standar/spesifikasi teknis minimal yang telah ditentukan dan terjangkau oleh alokasi dana yang tersedia maka dapat digunakan sebagai bahan bangunan, peralatan pendidikan, buku pengayaan, buku referensi, sarana multimedia dan peralatan perpustakaan yang diadakan.



Baca Selengkapnya ....

Sejarah lahirnya PGRI

Posted by PERFECT WORLD 0 komentar

MENGENANG LAHIRNYA PGRI DI SOLO
Pada waktu proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, Pemerintah Militer Jepang masih berkuasa di seluruh wilayah Indonesia, walaupun pemerintah pusatnya sudah menyerah kalah pada sekutu. Terjadilah perebutan kekuasaan antara pemerintah militer Jepang yang masih mau mempertahankan kekuasaannya yang sudah goyah dengan Pemerintah Republik Indonesia yang baru saja memproklamirkan kemerdekaannya. Perebutan kekuasaan tersebut ada yang berlangsung melalui pertempuran, ada yang melalui perundingan. Dalam beberapa waktu berhasil diselesaikan penyerahan kekuasaan pemerintah militer Jepang kepada Pemerintah Republik Indonesia.


Pemerintah Republik Indonesia belum sempat mengadakan konsolidasi, tiba-tiba datang mendarat bersama-sama tentara sekutu, tentara Pemerintah Hindia Belanda dalam jumlah yang besar dengan senjata lengkap serba modern. Pemerintah Hindia Belanda bermaksud mengambil alih pemerintahan dan menguasai kembali Indonesia seperti pada waktu sebelumnya. Terjadilah perang kemerdekaan Indonesia melawan Pemerintah Hindia Belanda yang dibantu tentara Sekutu. Walaupun persenjataan tentara Hindia Belanda serba lengkap dan modern baik di darat, laut, maupun udara, tetapi ternyata mereka tidak dapat maju dengan cepat, bahkan terpaksa berhenti tidak mampu menembus lebih jauh garis pertahanan tentara kita yang bersenjata serba sederhana.

Menghadapi kenyataan pahit itu, terpaksa Pemerintah Hindia Belanda mengadakan perundingan dan mengakui secara de facto Pemerintah Republik Indonesia, dan kemudian diadakan gencatan senjata antara kedua belah pihak. Perundingan menghasilkan persetujuan yang mengikat kedua belah pihak untuk menghormati dan melaksanakan keputusan bersama. Dalam persetujuan tersebut ditetapkan garis kedudukan pasukan masing-masing yang dikenal dengan garis demarkasi, sehingga terjadilah status quo. Walaupun persetujuan telah ditandatangani oleh kedua belah pihak, pelanggaran tetap saja terjadi.


Dalam keadaan yang terancam itu, Pemerintah Republik Indonesia masih harus mampu mengatasi gejolak golongan masyarakat tertentu yang tidak dapat mengendalikan diri, memperjuangkan dan memaksakan aspirasi golongannya kepada Pemerintah. Bentrokan-bentrokan tidak dapat dihindari lagi dan berakibat melemahkan kedudukan Pemerintah kita. Meskipun demikian, instansi pemerintah dengan sekolah-sekolah, toko, pasar, dan lembaga masyarakat tetap terus berjalan. Kegiatan instansi dan lembaga tersebut memang sangat terbatas karena sumber daya dan dana yang minim. Demikian pula keadaan pendidikan dan sekolah-sekolah.


Sementara itu, sisa-sisa sikap mental zaman penjajahan Pemerintah Hindia Belanda dan Pemerintah Militer Jepang memberi bekas yang dalam di lingkungan pendidikan yang memerlukan waktu lama untuk menghapusnya. Pada jaman penjajahan, pemerintah Belanda menerapkan politik devide et impera, yang secara umum mennjadikan kita terpecah-pecah kemudian dikuasi. Cara tersebut dilakukan di segala bidang. Hal-hal yang berbeda walaupun kecil mengenai sifat, tabiat, bahasa, agama, dan adat istiadat masyarakat Indonesia selalu dibesar-besarkan kemudian dihasut, diadu domba antara golongan satu dengan yang lain. Dengan demikian di antara bangsa Indonesia tidak ada rasa kesatuan, persatuan, dan kesamaan nasib, justru tertanam rasa benci, curiga, dan permusuhan satu dengan yang lain.


Dalam kondisi dan situasi yang demikian itu, di Kota Solo, di aula Sekolah Guru Putri (SGP) yang terletak di Jalan kartini (sekarang SMP 3 dan 10) berlangsung Kongres Guru Pertama yang melahirkan organisasi profesi, organisasi perjuangan dan serikat pekerja yang bernama “Persatuan Guru Republik Indonesia” (PGRI) yang nasionalis dan unitaristik. Dengan lahirnya PGRI di awal kemerdekaan yang diwarnai dengan ledakan bom dan mesiu perang kemerdekaan, maka hapus sudah organisasi kelompok-kelompok guru yang berlainan aspirasi perjuangannya. Semua guru bersatu, berjuang di bawah panji PGRI. Sampai sekarang, sampai diresmikannya Monumen PGRI di kota kelahirannya ini, PGRI menjadi organisasi yang besar, kuat, dan berwibawa.

Persiapan Kongres Pertama
Pada majalah Suara Guru edisi Khusus peringatan Hari Ulang Tahun ke-40 PGRI yang terbit 31 Oktober 1985, Bapak Moch. Hoesodo, salah seorang guru SGP, menulis sebagai berikut:
“Pada permulaan bulan Oktober 1945, saya menerima undangan dari Bapak Kusnan-Kepala Sekolah Guru Puteri- untuk menghadiri suatu pertemuan di rumahnya, di rumah dinasnya di Jalan Kartini no. 22 (dalam kampus SGP). Waktu itu saya mengira pertemuan tersebut akan membicarakan soal-soal kedinasan. Hadir dalam pertemuan itu kira-kira sepuluh orang. Beberapa orang di antaranya masih saya ingat namanya yaitu Bapak Siswowardojo, Bapak Siswowidijom dan Bapak Baroya. Semuanya guru, mulai dari Sekolah Rakyat (kini bernama SD), SMP, SMY (kini SMA), Sekolah Guru sampai Sekolah Teknik. Latar belakang pendidikannya saya ketahui: ada yang HKS, dari HIK, dari KS, NS, dan lain-lain. Agamanya pun berbeda-beda: Islam, Kristen, Katholik”


Bapak Kusnan mengutarakan apa maksud diadakan pertemuan itu. Beliau mengajak para hadirin untuk membentuk suatu persatuan guru, yang akan mempersatukan semua guru, dengan tidak memandang latar belakang pendidikan atau agama, sehingga tidak akan terulang lagi keadaan seperti pada zaman kolonial: ada HKS Bond, ada OVO, ada PGRI, ada NSB, dsb.
Segenap hadirin menyambut baik ide pak Kusnan itu. Tidak ada yang tidak setuju. Rapat akhirnya memutuskan untuk menyebut persatuan itu sebagai PGSI (Persatuan Guru Seluruh Indonesia). Pak Kusnan terpilih sebagai ketuanya yang pertama. Atas inisiatif pak Kusnan, PGSI mengajak semua guru di wilayah Republik Indonesia untuk berkongres di Solo. Untuk memberi kesempatan mengadakan persiapan secukupnya, maka kongres itu direncanakan, diselenggarakan pada akhir bulan November 1945, di gedung SGP, di Jalan Kartini, Solo.


Surat-surat ajakan untuk mengadakan Kongres Guru itu dijatuhkan di Kantor Kabupaten yang kemudian diteruskan kepada Kantor Pengajaran dari daerah yang bersangkutan. (Redaksi: agaknya Sdr. Moch. Hoesodo tidak mengetahui, bahwa RRI telah memberi bantuan dengan menyiarkan ajakan PGSI tersebut beberapa kali).


Sambutan dari daerah-daerah lain luar biasa, semuanya antusias dengan ide dari Solo itu. Pada saya tidak ada catatan berapa orang yang hadir dalam kongres pertama itu, dan mewakili berapa kabupaten.
“Adapun SGP yang dijadikan medan kongres itu sudan semestinya. Bukankah ketua PGSI juga menjabat Kepala SGP? Di SGP tersedia sebuah asrama. Murid-murid diliburkan selama kongres agar asrama bisa digunakan sebagai tempat penginapan para peserta kongres.”


Perlu dijelaskan bahwa selama kongres itu para siswa yang diliburkan hanya para siswa yunior, sedang para senior dan guru-guru membantu panitia kongres sesuai dengan bakatnya masing-masing. Ketua panitia Bapak B. Suparno dan Bapak Ali Marsaban sebagai Wakil Ketua.

Saat-saat yang Menentukan
Bapak Ali Marsaban sebagai Wakil Ketua Panitia kongres menulis kesan mendalam sebagai berikut:
“waktu kongres akan dimulai, Bapak Suparno jatuh sakit, sehingga tugas membuka kongres diberikan kepada saya. Sayalah yang mendapat kehormatan untuk mengetokkan palu yang pertama kalinya sebagai tanda akan lahirnya suatu organisasi guru satu-satunya di Republik Indonesia. Pengalaman ini akan saya bawa ke liang kubur, sebagai kenangan manis di dunia-akhirat.”
Pada majalah Suara Guru No. 50 bulan November 1974 mengenai jalannya Kongres Pertama, Bapak Kusnan dalam suatu wawancara mengatakan: “Kongres pertama PGRI berlangsung dari awal sampai akhir di gedung SGP Solo, pembukaannya, perdebatannya, penetapan AD/ART, program perjuangan dan penetapan namanya. Hal ini diketahui benar oleh bekas-bekas guru dan bekas-bekas murid SGP dalam tahun 1945 dan 1946.” Sedang resepsi dan pengumuman keputusan-keputusan kongres diselenggarakan di gedung Sana Harsana dan berlangsung pada esok harinya sesudah kongres berakhir.


Tentang resepsi itu sendiri Bapak Kusnan menyatakan: “Masih ingat benar bahwa rapat terbuka tersebut tidak dihadiri oleh banyak pengunjung/tamu. Sebagian peserta kongres telah meninggalkan kota Solo, pulang kembali ke daerahnya masing-masing. Tidak karena takut atas serangan sebuah kapal terbang Inggris pada gedung RRI pada hari terkahir kongres di SGP, tetapi karena kehadiran mereka sangat diperlukan untuk memperhebat semangat mengusir Belanda dengan NICA-nya dari daerahnya masing-masing. Banyak pembesar pun tidak hadir, karena Bapak-bapak itu harus tetap di posnya masing-masing untuk menghadapi segala kemungkinan. Namun pertemuan di gedung Sana Harsana mempunyai arti yang penting. Dari tempat itu disiarkan telah berdirinya PGRI yang unitaristis, independen, dan non partai politik dengan tujuan pokok: mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan yang telah merdeka dan tidak terpecah-pecah.”


Pada edisi Suara Guru tersebut Bapak Kusnan menceritakan:”…..Pada waktu membahasa AD/ART PGRI, jam 08.30 pagi (oleh Bapak Kusnan dikoreksi menjadi siang hari) stasiun radio Surakarta yang jaraknya hanya beberapa ratus meter dari gedung SGP, tempat utusan PGRI bersidang dibom oleh Inggris. Para peserta mencari perlindungan di bawah meja dan di luar gedung SGP, namun setelah kapal terbang pergi, dengan tabah hati para peserta/utusan melanjutkan sidang dan hari itu juga sidang berhasil menetapkan AD/ART PGRI dan memilih Pengurus Besar yang pertama. Hal itu membuktikan bahwa PGRI sejak lahirnya adalah organisasi perjuangan, tidak hanya menuntu perbaikan nasib saja, akan tetapi lebih dari jauh dari itu: bahwa PGRI tetap konsisten terhadap perjuangan dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.”


Dalam kongres itu utusan dari Solo mengusulkan nama PGSI untuk persatuan guru yang baru itu, tetapi kongres memilih nama lain yang lebih tepat, yaitu PGRI, singkatan dari Persatuan Guru Republik Indonesia. Nama PGRI merupakan usulan kawan-kawan guru Jawa Barat yang berjiwa unitaristis.
Kongres memilih Bapak Amin Singgih sebagai Ketua I PGRI dan Bapak Rh. Kusnan sebagai ketua II.

Modal PGRI: Tekad dan Semangat Perjuangan
PGRI berdiri bermodal tekad semangat perjuangan. Bapak Amin Singgih, Ketua PGRI, segera melengkapi susunan Pengurus Besar yang ditetapkan pada rapat pertama yang diselenggarakan di salah satu ruangan kantor Mangkunegaran. Bapak Amin Singgih menjabat Kepala Pendidikan Mangunegaran atau disebut Pembesasr Baroyowiyoto. Maka susunan Pengurus Besar PGRI adalah sebagai berikut:
a. Ketua I: Amin Singgih
b. Ketua II: Rh. Kusnan
c. Ketua III: Soemitro
d. Penulis I: Djajeng Sugianto
e. Penulis II: Ali Marsaban
f. Bendahara I: Sumadi Adisasmito
g. Bendahara II: Martosudigdo
h. Anggota: Siti Wahyunah
i. Anggota: Siswowidjojo
j. Anggota: Siswowardojo
k. Anggota: Parmodjo

Dua bulan kemudian Bapak Amin Singgih diangkat menjadi Bupati Mangkunegaran, sehingga karena kesibukannya terpaksa mengundurkan diri sebagai Ketua PGRI. Pimpinan PGRI diserahkan kepada Bapak Rh Kusnan yang menjabat Ketua II. Kembali SGP memegang peranan dalam keberadaan PGRI, karena sejak Bapak Rh Kusnan menjadi Ketua PGRI maka Kantor Pengurus Besar PGRI berada di kampus SGP yang sementara itu sudah pindah di Jalan Monginsidi, Margoyudan.
Susunan Pengurus Besar berubah menjadi sebagai berikut:
a. Ketua I: Rh. Kusnan
b. Penulis I: Sastrosumarto
c. Penulis II: Kadjat Martosubroto
d. Bendahara I: Sumidi Adisasmito
e. Bendahara II: Martosudigdo
f. Anggauta: Djajengsugianto
g. Anggauta: Siswowardojo
h. Anggauta: Ny. Nurhalmi
i. Anggauta: Suspanji Atmowirogo
j. Anggauta: Baroja

Di tengah kancah perang kemerdekaan yang makin hebat, PGRI di bawah pimpinan Rh. Kusnan yang penuh kreativitas menunjukkan kehadirannya dalam perjuangan besar bangsa dan negaranya.


- PGRI mengutamakan bergerak sebagai organisasi perjuangan yang membina persatuan dan kesatuan dalam menentang Belanda yang hendak menjajah Indonesia kembali. PGRI belum merupakan serikat sekerja yang memperjuangkan kepentingannya sendiri melalui segala bentuk tuntutan.
- Dalam keadaan serba kekurangan sumber daya, Pengurus Besar PGRI berhasil mengusahakan penerbitan majalah “Soeara Goeroe” dengan kertas merang yang warnanya kekuning-kuningan. Sesudah dibaca oleh 10 orang huruf-hurufnya tidak terbaca lagi (baik kualitas kertas maupun sistem pengecapannya sangat sederhana).
- Pengurus Besar tidak mudah berkunjung ke daerah-daerah karena kesulitan komunikasi dan gangguan keamanan. Perjalanan kereta api seringkali terhenti karena kekurangan atau kehabisan bahan bakar. Dalam perjalanan seringkali harus menghadapi pos-pos penjagaan yang mengadakan pemeriksaan terhadap orang-orang yang dicurigai.
- PGRI mula-mula memperkuat Barisan Buruh Indonesia (BBI) sebagai gerakan buruh nasional yang menentang penjajah Belanda. Tetapi ketika BBI sebagai gerakan buruh nasional pada tahun 1946 diubah menjadi Partai Buruh Indonesia maka PGRI keluar dari BBI. Demikian pula halnya dengan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Ketika SOBSI masih nonpartai, semua serikat sekerja menjadi anggota. Tetapi setelah SOBSI berganti corak, menginduk Partai Komunis Indonesia (PKI) maka banyak serikat sekerja termasuk PGRI yang meninggalkan SOBSI dan membentuk Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI).
- PGRI tidak mempunyai uang karena kontribusi atau iuran tidak masuk dan tidak ada donatur.
Pada tanggal 22-23 Desember 1946 PGRI menyelenggarakan kongres kedua dengan mendapatkan bantuan dari pemerintah. Kongres Kedua PGRI diselenggarakan di Pendhopo Kepatihan Surakarta dan dihadiri oleh Bapak Presiden Sukarno. Dalam penyelenggaraan kongres tersebut, para siswa dan guru-guru SGP juga ikut membantu, sampai ikut mencari dana dengan menyelenggarakan pertunjukan di Sriwedari.
Pada kongres PGRI Bapak Rh. Kusnan sebagai ketua PGRI menyampaikan pidato yang isi ringkasnya seperti berikut:
- Dalam alam Indonesia Merdeka hendaknya dunia pendidikan juga diadakan perubahan sehingga tidak sama sistem dan pelaksanaannya dengan zaman pemerintahan Hindia Belanda dan penjajahan pemerintah militer Jepang, supaya selekasnya didasarkan kepada kepentingan nasional.
- Hendaknya bagi lulusan sekolah kejuruan juga mendapat kesempatan yang sama dengan lulusan sekolah umum dapat melanjutkan ke universitas atau perguruan tinggi. Dengan demikian, jumlah sarjana akan lebih cepat bertambah.
- Diusulkan agar kedudukan guru diperbaiki tanpa menyinggung-nyinggung kenaikan gaji. Maksudnya ialah agar bagi para guru diberi kesempatan untuk meningkatkan jenjang jabatannya melalui pendidikan yang sesuai, misalnya guru SD dapat meningkat menjadi guru SMP, kemudian SMA dan Universitas melalui pendidikan yang ditentukan. Pendidikan tersebut dapat berupa kursus baik lisan maupun tertulis. Dengan demikian guru menjadi tertarik untuk terus belajar meningkatkan ilmu dan kemahirannya sampai jenjang yang tertinggi.
- Supaya gaji guru tidak terhenti dalam satu kolom.
- Hendaknya diadakan Undang-Undang Pokok Pendidik dan Undang-Undang Pokok Perburuhan.

Pidato tersebut ditutup dengan semboyan:
“Guru bukan penghias alam yang tidak dapat dipakai kalau perlu dan dibuang kalau sudah layu dan tidak berguna lagi. Guru ialah pembentuk jiwa, pembangun masyarakat.” (admin)


Baca Selengkapnya ....
Trik SEO Terbaru support Online Shop Baju Wanita - Original design by Bamz | Copyright of PERFECT WORLD.